Friday, September 28, 2012

Cara mengobati demam anak secara tradisional



Pada kesempatan ini saya akan berbagi mengenai pengobatan tradisional untuk anak anak. Mungkin bagi ibu ibu muda ataupun orangtua yang baru memiliki anak akan membutuhkan tips tentang bagaimana cara untuk mengobati demam pada anak secara tradisional menggunakan bahan alam yang ada di sekitar kita.

Seperti kita tahu sendiri, seorang anak akan mudah sekali terserang demam. Baik itu karena adanya perubahan cuaca, karena anak mengalami peradangan, anak beradaptasi setelah bermain air dalam jangka waktu lama atau bahkan ketika seorang anak tergigit nyamuk nyamuk nakal yang  bisa mengakibatkan demam.

Demam sendiri biasanya ditandai dengan adanya kenaikan suhu tubuh pada anak. Apabila suhu tubuh anak melebihi 37 derajat Celcius, maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut menderita demam. Oleh karena itu segera lakukan penanganan kepada anak tersebut untuk mengurangi demam yang diderita.

Sebagian dari masyarakat sekarang ini memang telah beralih mengunakan obat obat modern semacam sirup dan tablet yang digunakan untuk pereda demam. Namun di sini saya akan memberikan beberapa resep tradisional yang bisa digunakan untuk menurunkan demam pada anak yang digunakan secara turun temurun oleh masyarakat Suku Tengger yang mendiami daerah sekitar Gunung Bromo.

1.      Dringu dan Bawang Putih
Caranya adalah dengan mengambil 3 tanaman dringu dan 3 bawang putih kemudian ditumbuk sampai halus. Setelah itu Bobok yang dihasilkan ditempelkan pada dahi anak.

2.      Dringu dan Bawang Merah
Caranya adalah dengan mengambil 3 tanaman dringu dan 3 bawang merah kemudian ditumbuk sampai halus. Setelah itu Bobok yang dihasilkan ditempelkan pada dahi anak.


3.      Dringu Bawang Putih dan Lempuyang
Caranya adalah dengan mengambil 3 tanaman dringu, 3 bawang putih dan 1 rimpang lempuyang kemudian ditumbuk sampai halus. Setelah itu Bobok yang dihasilkan ditempelkan pada dahi anak

4.      Dringu, Bawang Putih, Lempuyang dan Padi
Caranya adalah dengan mengambil 3 tanaman dringu, 3 bawang putih, 1 rimpang lempuyang dan 7 butir padi kemudian ditumbuk sampai halus. Setelah itu Bobok yang dihasilkan ditempelkan pada dahi anak

5.      Dadap Srep
Caranya adalah dengan mengambil 7 lembar daun dadap srep kemudian ditumbuk sampai halus. Setelah itu Bobok yang dihasilkan ditempelkan pada dahi anak

6.      Kunyit
Caranya pembuatannya adalah dengan mengambil 7 rimpang kunyit, kemudian mengupas kulit kunyit dan dibersihkan. Setelah itu kunyit diparut dan diperas. Sedangkan cara pemakaiannya adalah dengan mengusapkan ampas kunyit dan ditambah enjet (gamping mati) pada dahi anak. Sedangkan airnya bisa diminumkan kepada anak yang demam tersebut.

Catatan :
-         Obat ini hanya obat tradisional, jadi sifatnya hanya sebagai obat awalan saja apabila anak demam
-         Apabila demam anak sudah 1 hari dan tidak sembuh dengan obat tradisional, segera periksakan ke dokter, mungkin si anak terkena malaria, demam berdarah atau tipes

Sumber :
Penelitian Skripsi Etnofarmasi Suku Tengger Gunung Bromo oleh Imam Shyhox


Friday, August 17, 2012

Bioavailabilitas Dua Formulasi Baru Parasetamol




Bioavailabilitas Dua Formulasi Baru Parasetamol, Dibandingkan dengan Tiga Formulasi Komersial, pada Sukarelawan Sehat

Pendahuluan
Parasetamol adalah analgesik dan antipiretik yang efektif untuk mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Secara farmakokinetik, parasetamol dalam bentuk padat dan bentuk effervescent telah banyak dipelajari. Namun beberapa studi yang baru adalah tentang formulasi parasetamol bubuk sachet yang telah dimodifikasi untuk memperoleh serbuk yang lebih hidrofilik dan mudah larut. Jadi tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi karakteristik farmakokinetik dua formulasi baru parasetamol, yaitu bubuk sachet dan tablet dengan tiga formulasi komersial yang meliputi dua formulasi tablet dan satu formulasi tablet effervesen.

Bahan dan Metode
Sebanyak 5 formulasi parasetamol 1000 mg diberikan kepada sukarelawan. Relawan diminta berpuasa semalam, setidaknya sekitar 10 jam sebelum dosis diberikan. Setiap relawan diberi dosis oral tunggal dari salah satu tes atau obat referensi pada sekitar jam 08.00 dalam tiga dari lima periode pengobatan. Tablet ditelan tanpa mengunyah dengan air 250 ml air. Dalam 2 periode pengobatan lain, sachet bubuk atau tablet effervesen, diencerkan dengan 250 ml air. Setelah itu dlakukan cek mulut untuk memastikan obat sudah tertelan atau belum. Kelima formulasi diberikan ke setiap relawan secara acak dan dipisahkan oleh periode pencucian/washout minimal 3 hari.
Setelah itu sample darah diambil sebanyak 5 ml pada waktu waktu berikut, yaitu sebelum pemberian, 15 menit, 30 menit, 45 menit, 1 jam, 1 jam 20 menit, 1 jam 40 menit, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 6 jam, 8 jam, 12 jam dan 24 jam. Total darah yang diambil tidak lebih dari 450 ml. Sampel darah dikumpulkan dalam label baterai lithium-tabung heparin dan disentrifuse pada 3.000 rpm selama 10 menit pada 4°C dalam sentrifuse pendingin. Sampel plasma dibekukan pada suhu -20°C sampai dilakukan analisis.
Setelah itu, konsentrasi plasma diukur menggunakan kromatografi cair yang divalidasi dengan deteksi UV dan Teofilin sebagai standar internal. Sampel plasma (50 µl), larutan standar internal (10 µl, 1mg/ml), reagen air (10 µl) dan larutan asam perklorat 6% (100 µl) dicampur dalam tabung polipropilen dan disentrifugasi pada 3500 rpm selama 8 menit. Kemudian 130 µl dipindahkan ke vial HPLC. Fase gerak yang digunakan adalah 50mM buffer fosfat (pH 2,2) : asetonitril = 93:7 v/v dengan waktu run-off 7 menit dan laju alir 1,2 ml/menit. Kisaran validasinya antara 0,25-160 µg/ml, dengan konsentrasi tertinggi 32,65µg/ml. Akurasi berkisar antara -0,8 % sampai -5,0 % dan presisi 9,5-3,8%. Kemudian variabel farmakokinetik dicari dengan menggunakan Software Kinetica 2000 ®  (Versi 4). Variabel meliputi AUC 0-¥, AUC 0-t last, C max dan t1/2.

Pembahasan dan Kesimpulan
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan waktu yang paling singkat untuk konsentrasi maksimal parasetamol dalam plasma yang diamati pada pengujian dua formulasi baru. Hal ini relevan bahwa kedua formulasi baru parasetamol yang diserap sama cepatnya dengan formulasi effervesen, keduanya memiliki waktu yang singkat untuk mencapai Cmax bila dibandingkan dengan 2 sediaan tablet yang lain. Untuk kasus formulasi C, tidak ada perbedaan bermakna secara statistik karena tidak ada perbedaan signifikan dalam AUCo-∞ atau AUC0-tlast. Namun hasil parsial AUC (AUC0-0.25h, AUC0-0.5h, AUC0-0.75h, AUC0-1.0h) menunjukkan tingkat absorbsi yang lebih besar untuk formulasi A dan B pada satu jam pertama setelah menelan bila dibandingkan dengan formulasi C dan D. Cmax rata rata berkisar antara 17,98-20,73 µg / ml, sedangkan konsentrasi parasetamol dalam plasma yang efektif sebagai analgesik adalah 10,6-34,8 µg / ml.
            Dalam praktek secara klinis, parasetamol yang biasa diberikan adalah pada dosis 1000mg setiap 4-6 jam dengan onset analgesia terjadi antara 15 dan 90 menit, tetapi kadang bervariasi sesuai dengan formulasinya. Penyerapan yang lebih cepat biasanya dapat menyebabkan onset lebih awal analgesia untuk pengobatan nyeri akut secara klinis. Sebelumnya, kami hanya menemukan satu penelitian yang diterbitkan sebelumnya yang membandingkan tingkat penyerapan parasetamol tablet padat dan tablet effervesen. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tmax 0,45 jam untuk parasetamol efervesen dan 0,75 jam untuk tablet formulasi padat. Hasil yang dilaporkan pada penelitian ini juga menunjukkan kemiripan, yaitu nilai rata-rata tmax 0,40  jam dan 0,88 jam untuk tablet effervesen dan tablet padat. Hal yang terpenting adalah bahwa  nilai rata-rata tmax 0.44 jam juga ditemukan pada dua formulasi tablet yang baru.
Kesimpulannya, dua formulasi baru parasetamol yang diuji dalam penelitian ini, dapat dengan cepat diserap. Karena kondisi tersebut mempunyai kemiripan dengan formulasi parasetamol tablet effervesen yang selama ini lebih direkomendasikan daripada sediaan tablet yang sudah ada.

Thursday, August 16, 2012

Pengaruh Hegemoni dalam Pendidikan




Realita PENDIDIKAN saat ini bukanlah sebuah faktor tunggal yang bebas nilai, Melainkan rangkaian dari lembaga-lembaga sosial lain yang disetir oleh kepentingan tertentu.
Dalam pendapat Freirian, pendidikan adalah alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Akibatnya, rekayasa sejarah, pemutar balikan fakta, pembodohan-pembodohan, dan pemandulan sikap kritis, menjadi hal biasa yang dilakukan oleh penguasa dalam konteks politik pendidikan.
Pendidikan sebagai sebuah institusi sosial, dipakai sebagai alat penetrasi pemikiran, nilai-nilai dan cara berpikir pihak penguasa terhadap rakyatnya. Hal ini dilakukan agar terdapat pengakuan dari rakyat terhadap kekuasaan yang dijalankan tanpa ada protes, sebab pola pikir masyarakat sudah dibentuk sesuai dengan “menu yang menjadi selera" penguasa.
Antonio Gramsci berpendapat bahwa hegemoni merupakan sebuah upaya pihak elite penguasa yang mendominasi untuk menggiring cara berpikir, bersikap, dan menilai masyarakat agar sesuai kehendaknya. Hegemoni berlangsung secara halus, tanpa terasa, tetapi masyarakat dengan sukarela mengikuti/menjalaninya. Dalam dunia pendidikan, hegemoni dilancarkan secara sistematis dan cerdas.
Dilihat dari jenjang pendidikan yang rata-rata ditempuh oleh masyarakat Indonesia, katakanlah 12 tahun (SD-SLTA) atau 17 tahun (jika dihitung masa tempuh rata-rata lulusan S-1), menunjukkan interval waktu jenjang pendidikan yang cukup lama. Dengan waktu yang cukup lama ini, sektor pendidikan menjadi strategis dan sasaran empuk untuk dijadikan ladang indoktrinasi, hegemoni, juga penciptaan kesadaran-kesadaran palsu. Ladang pendidikan ini bertambah subur lagi dengan rezim positivistik dan jargon-jargon yang telah menelusup ke dalam sanubari masyarakat dunia termasuk Indonesia bahwa ilmu itu netral, dunia pendidikan itu netral, tidak terkait dengan kepentingan politik, ekonomi, bebas kepentingan dan bebas nilai.
Kesadaran ini membawa pengaruh terhadap semakin mudahnya kebijakan-kebijakan penguasa dalam pendidikan disepakati dan mudahnya melakukan intervensi dunia pendidikan karena dianggap tetap steril, aman, nyaman dan menjanjikan.
Mungkin kita masih ingat ketika rezim orde baru masih berkuasa, ada pelembagaan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). P-4 diberikan kepada semua peserta didik pada setiap jenjang pendidikan, dan juga kepada instansi-instansi lain. Lembaga seperti P-4 inilah yang kemudian melakukan "penertiban" terhadap cara berpikir masyarakat agar "Pancasilais".
Sebuah hal yang wajar, jika masyarakat kita, dulu, memandang aneh dan sinis terhadap orang-orang (aktivis) yang berusaha kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Akibat hegemoni pemerintah, mereka dituding sebagai "pemberontak".
Juga merupakan hal yang wajar, jika banyak masyarakat pendidikan kita yang rajin membuat contekan atau bertanya ke kiri-kanan ketika ujian karena kita memandang nilai di secarik kertas hampir segala-segalanya.
Begitulah hegemoni. Maka, bagi kaum yang menginginkan sebentuk perubahan progresif, harus melakukan counter hegemoni.
Sejatinya, manusia seutuhnya adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya, manusia yang hanya bisa beradaptasi adalah manusia sebagai objek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena ia tidak mampu merubah realitas. (P. Freire)
Bagi Freire, fitrah sejati manusia adalah menjadi pelaku atau subjek, bukan penderita atau objek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya.
Ancaman hegemoni dalam dunia pendidikan juga datang dari hegemoni neoliberalisme. Neoliberalisme menampilkan wajah hegemoniknya lewat pembangunan image yang dikemas dalam bentuk iklan-iklan, icon (lambang) dan merk serta jargon-jargon.
Kesadaran-kesadaran yang dibiuskan oleh hegemoni neoliberalisme kepada masyarakat, sering tidak disadari. Masyarakat mengikuti saja bahwa yang dikatakan cantik itu adalah sosok perempuan yang berkulit putih, langsing, berambut panjang.
Dalam dunia pendidikan neoliberalisme melancarkan hegemoni dengan melakukan kapitalisasi pendidikan, yaitu pendidikan dijadikan sebagai barang dagangan, tanpa melihat lagi misi mulia pendidikan yang manusiawi. Hasil dari sekian lamanya neoliberalisme menghegemoni dunia pendidikan, dengan gampang ditemukan lewat kesadaran palsu, yaitu pandangan bahwa kesuksesan dan derajat kemuliaan seseoarang diukur dari kuliah, lulus secepatnya dengan nilai tinggi, kerja pada tempat yang paling banyak menghasilkan duit.
hasilnya, masyarakat pun cenderung menilai orang dari mobil yang dipakai, seberapa besar rumahnya, dll. Jiwa dan sikap intelektualitas, suka mengkaji suatu fenomena, memiliki rasa keingintahuan dan naluri penyelidikan yang tinggi, memegang prinsip kebenaran ilmiah dan rasa keadilan, justru merupakan "musuh" bagi neoliberalisme, termasuk Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Mungkin masih terlintas dan sedikit membekas dalam diri kita tentang filosofi pendidikan pembebasan yang sampai saat ini masih merupakan filosofi yang dapat dipakai untuk melakukan counter hegemoni penguasa maupun kaum neoliberalisme. Pendidikan pembebasan yang memandang manusia sebagai manusia, bukan sebagai alat. Pendidikan pembebasan tidak mengasingkan anak didiknya dari realitas lingkungannya.
Lemahnya bangsa Indonesia dalam merumuskan filosofi dan konsep pendidikan serta praktik pendidikan yang amburadul, membuka celah yang sangat lebar kepada hegemoni neoliberalisme. Padahal tidak sedikit orang pintar yang ada di Indonesia, tetapi mereka menggunakan kepintarannya untuk sebuah nilai dan materi dimana m,emandang manusia lain sebagai obyek. Ada apa dengan pendidikan di Indonesia? Ada apa dengan pendidikan di Jawa Timur? Ada apa dengan pendidikan di Jember?  

Wednesday, August 15, 2012

Keyword Survey Kualitas Pelayanan Penanaman Modal (Investasi)




1. Latar Belakang
Dalam konteks pembangunan ekonomi regional, investasi memegang peranan penting sebagai kunci penentu laju pertumbuhan ekonomi dengan mendorong kenaikan output secara signifikan. Investasi juga secara otomatis akan meningkatkan permintaan input, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat sebagai konsekuensi dari meningkatnya pendapatan yang diterima masyarakat.
Indonesia sebagai negara sedang membangun membutuhkan invesatsi yang besar. Untuk mendukung pelaksanaan penanaman modal tersebut,  diperlukan adanya pelayanan terhadap penanaman modal itu sendiri. Sebab dengan adanya pelayanan yang berkualitas, kinerja penanaman modal tentunya akan menjadi lebih baik lagi dan bisa berdampak pada kemajuan perekonomian. Selain itu, dengan meningkatnya kualitas pelayanan, juga menunjukkan meningkatnya tata kelola pemerintahan yang juga pada akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan investor untuk melakukan investasi di Indonesia.

2. Masalah Penelitian
(1)    Bagaimanakah kualitas pelayanan perijinan dan sistem informasi pelayanan penanaman modal didaerah kab./kota di indonesia ?
(2)    Apa saja inovasi daerah kab./kota untuk meningkatkan pelayanan penanaman modal di daerahnya?
(3)    Kab./kota manakah yang terbaik dalam memberikan pelayanan penanaman modal?

3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini:
(1)    Mengetahui kualitas pelayanan perijinan dan sistem informasi pelayanan penanaman modal didaerah kab./kota di Indonesia
(2)    Mengetahui inovasi daerah dalam melakukan pelayanan penanaman modal.
(3)    Membuat peringkat Indeks pelayanan penanaman modal kabupaten/kota di Indonesia

Catatan Konsep
5 (lima) bidang yang menjadi kewenangan Kabupaten Kota khusus Bidang Penanaman Modal, yaitu :
1.      kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal
2.      promosi dan kerjasama internasional penanaman modal
3.      pelayanan perizinan penanaman modal
4.      pengendalian penanaman modal
5.      sistem informasi penanaman modal

standar pelayanan terdiri dari beberapa komponen, yaitu:
a.       Dasar hukum;
b.      persyaratan;
c.       sistem, mekanisme, dan prosedur;
d.      jangka waktu penyelesaian;
e.       biaya/tarif;
f.        produk pelayanan;
g.       sarana, prasarana, dan/atau fasilitas;
h.       kompetensi pelaksana;
i.         pengawasan internal;
j.        penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
k.      jumlahpelaksana;
l.         jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;
m.     jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan
n.       Evaluasi kinerja pelaksana
Fitz Simmons dan Fitz Simmons (1994) dimensi/elemen kualitas pelayanan adalah:

  • Reliabilitas disini adalah keandalan penyelenggara untuk menyediakan jasa pelayanan yang akurat dan bagus, sehingga konsumen tidak akan dirugikan.
  • Assurance merupakan kemampuan dan perhatian petugas atas pelayanan yang dilakukan sehingga bisa diperoleh kepercayaan dari konsumen. Termasuk didalamnya kemampuan petugas dalam hal pengetahuan atas pelayanan yang diberikan dan ketrampilan dibidangnya masing-masing.
  • Emphaty merupakan sikap dan perhatian dari petugas kepada konsumen, dan upaya untuk mewujudkannya adalah dengan menunjukkan sikap petugas yang bersahabat dan komunikatif. Elemen kualitas pelayanan lainnya adalah
  • tangible, yaitu semua bukti fisik dari penyelenggara pelayanan, sehingga konsumen dapat mengevaluasi jasa melalui aspek fisik tersebut.
  • responsiveness, dimana petugas mempunyai kemauan dalam membantu pelanggan dan memberikan layanan secara tepat.

Kualitas pelayanan penanaman modal sangat terkait dengan aspek-aspek penanaman modal yang menjadi kewenangan dari pemerintah, seperti
perijinan,
kelembagaan,
kualitas peraturan daerah,
sistem informasi,
akses lahan,
infrastruktur
dan lainnya.

Dengan memperhatikan aspek-aspek diatas, maka dapat dirumuskan kualitas pelayanan penanaman modal tergantung pada beberapa indikator, yaitu:
1.      Sarana dan prasarana maupun fasilitas di instansi pelayanan penanaman modal, seperti keberadaan kantor, ketersediaan fasilitas dikantor tersebut
2.      Standar pelayanan, termasuk didalamnya prosedur, jenis perijinan, biaya dan persyaratan pelayanan.
3.      Aparatur pelayanan, termasuk didalamnya kemampuan aparatur, kecepatan petugas dalam melakukan pelayanan,
4.      Layanan informasi, termasuk didalamnya ketersediaan informasi pelayanan, kemudahan akses informasi, dan tempat memperoleh informasi.
5.      Sistem informasi, termasuk didalamnya sarana dan prasarana dari informasi, kualitas sistem informasi.

4. Ruang lingkup penelitian
1.      Unit analisis penelitian ini adalah kab/kota. Pemilihan kab./kota dalam studi ini dikarenakan kab./kota merupakan daerah tujuan investasi. Selain itu juga, kab./kota memiliki kewenangan yang besar dalam melakukan pelayanan penanaman modal.
2.      Jumlah daerah penelitiansebanyak 300 dari 472 kab/kota dan dipilih berdasarkan PDRB non migas.
3.      Penelitian ini hanya memfokuskan diri pada pelayanan perijinan dan sistem informasi penanaman modal. Dua hal tersebut dipilih sebagai fokus penelitian ini karena mempunyai dampak langsung kepada pelaku usaha atau kepada peningkatan investasi.

5. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui survey persepsi pelaku usaha tentang pelayanan penanaman modal di setiap daerah.




6. Data dan Pengumpulan Data
A.     Jenis Data
1.      Data-data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data primer berupa data kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh dengan melakuan survei lapangan kepada nara sumber pelaku usaha di daerah dan juga key informan pemerintah.
2.      Data-data lain dari pemerintah daerah juga akan dikumpulkan terkait usaha pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan penanaman modal.

B.     Teknik Pengumpulan Data
1.      Data persepsi pelaku usaha diperoleh dengan face to face interviews. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dirumuskan secara terstruktur dan sistematis. Responden untuk penelitian di setiap daerah penelitian diambil secara random, sehingga memungkinkan data yang diisi dalam kuesioner merupakan suatu data yang telah mempunyai nilai obyektivitas yang tinggi sesuai dengan pengetahuan/ pengertian/kepercayaan individu tentang obyek sikap (kognitif) karena pengalaman, lamanya seseorang mengalami aktivitas (bekerja) atau menghadapi persoalan yang diteliti.

7. Teknik Pengambilan Sampel Responden Pelaku Usaha
Untuk menjaga kualitas hasil survey maka dipilih teknik penarikan sampel secara probabilitas yakni secara random. Sehingga dapat dilakukan pengukuran uji statistik dan melihat tingkat kesalahan sampling (sampling error). Random Sistematik Sampel adalah sampel yang diperoleh dari suatu daftar semua unit dalam populasi sesuai dengan suatu pola pengambilan yang sistematis yang telah ditentukan. Metode yang sering digunakan (dan digunakan untuk penelitianini) adalah memilih sampel dengan interval atau selang yang teratur dari daftar semua unit dalam populasi.
A. Populasi:
Populasi dari obyek penelitian ini adalah seluruh perusahaan/pelaku usaha yang memiliki SIUP dan/atau TDP dalam 2 tahun terakhir yang ada di daerah penelitian dan berbadan hukum CV atau PT yang terdaftar di instansi pemda.






B. Sample:
Target jumlah sample tiap darah adalah 30 responden dan secara keseluruhan berjumlah 9000 orang. Tahapan dalam melakukan menentukan jumlah sample tiap daerah adalah sebagai berikut:
1)      Membuat daftar pengusaha/perusahaan yang ada di daerah. Daftar Perusahaan/pengusaha di daerah yang diperoleh dari daftar perusahaan yang berbentuk CV dan PT serta memiliki SIUP dan/atau TDP selama dua tahun terakhir yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah daerah kab./kota
2)      Menentukan jumlah responden masing-masing kab./kota, sesuai dengan kriteria statistik dimana populasi per daerah tidak diketahui, maka responden tiap daerah diambil sebanyak 30 responden per daerah.

8. Kriteria Responden
a.      Responden Pelaku usaha
Responden adalah pelaku usaha (pemilik perusahaan atau karyawan perusahaan minimal level manajer) terutama yang terlibat dalam pekerjaan administratif harian dan yang pernah mengurus perijinan. Pandangan mereka harus merepresentasikan institusi, bukan individu. Secara garis besar kriteria responden adalah:
1.      Perusahaan yang memiliki interaksi yang nyata dengan institusi publik di daerah. Untuk menyeragamkan bentuk hubungan tersebut dan ketepatan informasi dipilih atas dasar kepemilikan SIUP atau TDP (Tanda Daftar Perusahaan) oleh perusahaan.
2.      Perusahaan dengan pengambil keputusan manajemen berada pada wilayah kabupaten/kota bersangkutan.
3.      Pelaku usaha atau perusahaan yang mengurus perijinan dasar operasional penanaman modal selama 2007 dan 2008.

b.      Responden Key Informan Pejabat Pemda Kab./kota
Penarikan responden dilakukan secara purposif, dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik: Responden terpilih mewakili institusi pemerintah daerah, terutama institusi publik yang terkait pelayanan penanaman modal. Yang menjadi responden adalah pejabat atau pegawai di institusi-institusi terpilih. Pemilihan responden didasarkan pada pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan responden atas permasalahan investasi di daerah kabupaten/kota.

Tuesday, August 14, 2012

Sejarah Politik Hukum Adat




 1. Hukum Adat Dalam Masa Proklamasi

Merujuk pada pengertian hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo, maka hukum adat pembentukan dapat melalui Badan Legislatif, Melalui Pengadilan. Hukum merupakan kesatuan norma yang bersumber pada nilai-nilai (values). Namun demikian hukum dan hukum adat pada khususnya menurut karakternya, ada
Hukum adat memiliki karakter bersifat netral, dan
Hukum adat memiliki karakter bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius.

Pembedaan ini penting untuk dapat memahami pembentukan atau perubahan hukum yang akan berlaku dalam masyarakat. Hukum netral hukum lalu lintas adalah hukum yang relative longgar kaitannya dengan nilai - nilai religius susunan masyarakat adat hal ini berakibat, perubahan hukum yang termasuk hukum netral mudah pembentukannya dan pembinaan hukum dilakukan melalui bentuk perumusan hukum perundang-undangan (legislasi). Sedangkan hukum adat yang erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius – karena itu relative tidak mudah disatukan secara nasional, maka pembinaan dan perumusannya dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi.
Hukum adat oleh ahli barat, dipahami berdasarkan dua asumsi yang salah, pertama, hukum adat dapat dipahami melalui bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan asli atau didasarkan pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat disistimatisasi secara paralel dengan hukum-hukum barat. Akibat pemahaman dengan paradigma barat tersebut, maka hukum adat dipahami secara salah dengan segala akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata dalam perkembangan selanjutnya di masa kemerdekaan.

 2. Hukum Adat Dalam Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Pada masa Dandeles, hukum pidana adat diubah dengan pola Eropa, bila :
Perbuatan pidana yang dilakukan berakibat mengganggu kepentingan umum;
Perbuatan pidana bila dituntut berdasarkan atas hukum pidana adat dapat mengakibatkan si pelaku bebas;

Perkembangan hukum adat pada masa daendels bernasib sama dengan masa-masa sebelumnya yakni disubordinasikan hukum Eropa. Terkecuali untuk hukum sipil. Termasuk hukum perdata dan hukum dagang, Daendel tetap membiarkan sebagaimana adanya menurut hukum adat masing-masing.

Pada perkembangan lanjutan, politik hukum adat tampak pada pemerintahan penjajahan Belanda, ketika dimulainya politik unifikasi hukum dan kodifikasi hukum melalui Panitia Scholten, di antaranya: Alegemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB), Ketentuan Umum tentang peraturan Perundang-undangan di Hindia Balanda; Burgerlijke Wetboek, Wetboek van Koopenhandel; reglemen op Rechtelejke Organisatie en het beleid de justitie (RO). Maka dalam perkembangannya terbentuklah unifikasi dalam pengaturan hukum pidana bagi golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi, dengan dibentuknya Wetboek van Strafrecht (WvS), sebagi tiruan Belanda (1881) yang meniru Belgia, diberlakukan bagi golongan Eropa dengan Stb 1866:55 dan berlaku bagi Golongan Pribumi dan Timur Asing dengan Stb 1872:85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873. Proses kodifikasi dan unifikasi, maka hukum adat kecuali berkenaan dengan ketertiban umum dengan kodifikasi hukum pidana, tidak disangkutkan pengaturannya, sehingga yang dijadikan rujukan hukum adat adalah pasal 11 AB.

Pasal 11 AB, berlakukan azas konkordansi, yang memberlakukan hukum Belanda bagi golongan Eropa di Hindia Belanda, berkenaan dengan dengan hukum adat menunjukkan bahwa hukum adat berlaku bagi golongan penduduk bukan Eropa, kecuali:
Sukarela menaati peraturan peraturan perdata dan hukum dagang yang berlaku bagi golongan Eropa;
Kebutuhan hukum memerlukan ketundukan pada hukum perdata dan hukum dagang golongen Eropa;
Kebutuhan mereka memerlukan ketundukan pada hukum lain;
Pada masa ini, hukum dianggap ada bila diatur dalam undang-undang, sebagai hukum tertulis (statuary law) yang menunjukkan dianutnya paham Austinian, sebagaimana diatur pasal 15 AB (Alegeme Bepalingen van Vetgeving), yang menyatakan: terkecuali peraturan-peraturan yang ada, bagi orang Indonesia asli dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya, kebiasaan hanya dapat disebut hukum apabila undang-undang menyebutnya.
Dengan demikian menjadi jelas yang membuat ukuran dan kriteria berlaku dan karenanya juga berkembangnya hukum adat, adalah bukan masyarakat –dimana tempat memproduksi dan memberlakukan hukum adanya sendiri – melainkan adalah hukum lain yang dibuat oleh penguasa (kolonial), sebagaimana ternyata dalam pasal 11 AB dan pasal 15 AB tersebut.

3. Hukum Adat Dalam Masa VOC

Pada awalnya hukum asli masyarakat yang dikenal dengan hukum adat dibiarkan sebagaimana adanya, namun kehadiran era VOC dapat dicatat perkembangan sebagai berikut:

Sikapnya tidak selalu tetap (tergantungan kepentingan VOC), karena tidak berkepentingan dengan pengadilan asli, VOC tidak mau dibebani oleh persoalan administrasi yang tidak perlu berkenaan dengan pengadilan asli; Terhadap lembaga-lembaga asli, VOC tergantung pada kebutuhan (opportuniteits politiek);
VOC hanya mencampuri urusan perkara pidana guna menegakkan ketertiban umum dalam masyarakat; Terhadap Hukum perdata diserahkan , dan membiarkan hukum adat tetap berlaku.

Tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC yang merupakan gabungan dari maskapai dagang Belanda. Tahun 1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta (Batavia).
Wilayah VOC meliputi daerah di antara laut Jawa dan Samudera Indonesia, dengan batas-batas :
-         Sebelah barat : sungai Cisadane
-         Sebelah timur : sungai Citarum

Kedudukan VOC pada waktu itu
1.      Sebagai pengusaha perniagaan
2.      Sebagai penguasa pemerintahan


Guna menjaga kepentingan VOC di Hindia Belanda, tahun 1609 Staten General (Perwakilan Rakyat), Belanda memberikan kuasa kepada pengurus VOC di Banten (Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia/Raad Van Indie) untuk membentuk hukum sendiri. Adapun hukum yang diteapkan pada waktu itu adalah hukum VOC, yang terdiri dari unsur-unsur :
-         Hukum Romawi
-         Asas-asas hukum Belanda Kuno
-         Statuta Betawi
Statuta Betawi dibuat oleh Gubernur Jenderal Van Diemen yang berisikan kumpulan plakat-palakat dan pengumuman yang dikodifikasikan.

Menurut Van Vollenhoven : Kebijakan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut disebutnya “Cara mempersatukan hukum yang sederhana” Dalam praktek/kenyataannya, peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut tidak dapat dijalankan, sebab :
-         Ada hukum yang berlaku di dalam pusat pemerintahan VOC, yaitu dalam kota Betawi/Batavia.
-         Ada hukum yang berlaku di luar pusat pemerintahan VOC, yaitu di luar kota Betawi/Jakarta.

Menurut Utrecht : Hukum yang berlaku untuk penduduk asli adalah hukum adat. kecuali untuk daerah Betawi/Jakarta, Sebab :
-         kesulitan sarana transportasi waktu itu.
-         kurangnya alat pemerintah.

Sebagai jalan keluarnya, maka dikeluarkan resolutie 21-12-1708.
Sebagian Priangan (barat, tengah dan timur) diadili oleh Bupati dengan ombol-ombolnya dalam perkara perdata dan pidana menurut hukum adat.

Perhatian terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa tulisan-tulisan baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan, diantaranya :
-         Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer
Memuat tentang peraturan hukum Islam mengenai waris, nikah dan talak.
-         Pepakem Cirebon
Dibuat oleh Mr. P.C. Hasselar (residen Cirebon). Membuat suatu kitab hukum yang bernama “pepakem Cirebon” yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya merupakan kumpulan dari hukum adat Jawa yang bersumber dari kitab kuno antara lain : UU Mataram, Kutaramanawa, Jaya Lengkaran, dan lain-lain.
Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim yang dikehendaki oleh hukum adat :
a. Candra : bulan yang menyinari segala tempat yang gelap
b. Tirta : air yang membersihkan segala tempat yang kotor
c. Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaan
d. Sari : bunga yang harum baunya

Penilaian VOC terhadap hukum adat :
1.      Hukum adat identik dengan hukum agamaHukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum.
2.      Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan).
3.      Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa.


4. Hukum Adat Dalam Masa Pemerintahan Inggris

Mada masa penjajahan Inggris (Raffles), hal yang menonjol adalah adanya keleluasaan dalam hukum dan peradilan dalam menerapkan hukum adat, asal ketentuan hukum adat tidak bertentangan dengan: the universal and acknowledged principles of natural justice atau acknowledge priciples of substantial justice.

 5. Hukum Adat Dalam Masa Pemerintahan Jepang

Masa itu berlaku hukum militer, sedangkan hukum perundangan dan hukum adat tidak mendapat perhatian saat itu. Peraturan pada masa pemeintahan Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum militer.
Ketentuan ini diatur pada UU No. 1 Balatentara Jepang 1942 pasal 3 isinya :
Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan, hukum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. (dasar hukum adat masa Jepang).