Wednesday, August 8, 2012

Paradoks Gugatan Samin Sang Petani



Samin bukan petani sembarangan, lahan yang dikelolanya mencapai 4,5 hektar, dikerjakan bersama-sama dengan 17 rekan kerjanya. Dari luas lahan itu saja sudah bisa membuktikan Samin bukan petani sembarangan karena petani di desanya rata-rata hanya sepersepuluhnya saja. Jenis usaha yang dilakukan Samin menunjukkan kemampuanya sebagai petani.Beberapa petak sawah yang ditanam tidak hanya padi saja tetapi juga palawija, kebun dengan beberapa puluh batang pohon jengkol, pete, melinjo, nangka, dan cengkeh, beberapa puluh batang sengon, belasan kambing, 200 ayam kampung dan 3 kolam ikan; menjadi sebuah “mix farming” yang utuh dan dapat menjadi contoh pola usaha tani di daerah tropis basah. Apalagi menurut pengakuan 17 orang rekan-rekan kerjanya walaupun nyatanya mereka menuruti perintah Samin tetapi tidak merasa menjadi anak buah atau bawahan. Semua sama saja,kelompok tani,rekan-rekan sepengajian;demikian kata mereka. Sungguh merupakan cermin kepemimpinan yang unggul.
 Samin punya pandangan yang maju dan antisipatif. Juga memiliki pengetahuan yang luas, baik terhadap tehnik bertani, tehnik konservasi, hingga pemahaman terhadap pasar, pemerintahan, bahkan politik. Pergaulan dan pengalaman yang luas, beberapa pendidikan dan pelatihan yang diikuti telah memberi wawasan yang luas. Kehidupan Samin cukup berhasil. Anaknya enam orang, tiga dari istri pertama dan tiga dari istri kedua. Dua anaknya sudah lulus SMA, yang satu bekerja di Pemda dan yang satu menjadi Satpam di sebuah toko. Dua anaknya yang lain masih sekolah di SMA, satunya di SMP, satunya di SD. Semua biaya sekolah itu ditanggung dari penghasilan Samin sebagai petani. Berdiskusi dengan Samin akan selalu terasa nuansa kritikal dalam nada bicaranya. Namun kritik itu berbentuk sesuatu yang halus, sangat beragam, beresonansi pada pemilihan kalimat-kalimat yang panjang dan bersayap, bahkan sering terasa sebagai sesuatu yang paradoksal karena kritik yang banyak diberikan kepada dirinya sendiri. Gaya bicara yang diulang-ulang dan sering dengan nada seperti bercerita menjadikan nada itu seperti sebuah refleksi diri. Paradoks juga karena sekuat apa kritik itu diberikan sekuat itu pula Samin menerima dan berbahagia terhadap apa yang dikritiknya. Bahkan paradoks karena juga antara kritik yang satu dengan yang lain sering saling berlawanan
Samin sering mengkritik nasibnya yang tidak bisa menyelesaikan sekolahnya yang hanya diikutinya hingga SMP, itupun tidak lulus. Padahal untuk ukuran desanya pada tahun 1970-an mencapai pendidikan hingga SD saja sudah dipandang tinggi. Alasan ketidak-adaan biaya menjadi penyebab terhambatnya pendidikan Samin. Dalam diskusi, Samin sering mempertanyakan nasib baik yang “selalu” menyertai orang kota yang kaya. Mereka bisa kaya karena pintar, dan setelah kaya bisa membuat anak-anaknya lebih pintar lagi, demikian logika Samin. Logika seperti itulah yang sering dipakai Samin untuk menjelaskan mengapa petani selalu miskin dari generasi ke generasi. Petani yang miskin tidak bisa membuat anaknya menjadi pintar sehingga  terpaksa menjadi petani miskin lagi sebagai satu-satunya alternatif yang mungkin bagi “anak petani miskin yang tidak sekolah”.
Di sisi lain, Samin acap kali juga mengatakan bahwa dia merasa beruntung karena tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Tidak bersekolah menyebabkan Samin mempunyai banyak waktu untuk mengikuti kakeknya yang menurutnya adalah guru yang paling utama dalam memahami “Filosofi” dan tehnik bertani. Melalui kakeknya Samin menjadi sadar akan arti pertanian bagi kehidupan, tidak hanya bagi kehidupanya tetapi juga kehidupan umat manusia. Jika diungkapkan dalam satu kalimat pendek, pemahaman Samin dan Kakeknya mengenai pertanian dapat dirumuskan bahwa pertanian adalah “hatinya kehidupan”, tanpa pertanian mungkin masih akan ada yang hidup tapi jelas tidak akan ada kehidupan.
Melalui kerja keras di pertanian Samin dapat menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan nyaris seperti dengan semangat “balas dendam” karena masih teringat jelas akan kesempatan yang “hilang’ baginya dulu.Samin dengan penuh antusias menceritakan prestasi anak-anaknya di sekolah. Namun pada saat yang sama, Samin juga memberikan kritik dan mempertanyakan mengapa sekolah yang ada di daerah tidak mengajarkan mengenai pertanian atau hal-hal yang terkait dengan pertanian. Bahkan pendidikan sekolah itu tidak menumbuhkan minat anak-anak desa untuk bertani. Paradoks Samin kembali mengemuka, Samin menyekolahkan anak-anaknya dengan semangat, tetapi mengkritik sekolah yang akhirnya membuat anak-anak Samin tidak berminat menjadi petani. Walaupun demikian Samin tetap merasa bahagia bisa menyakolahkan anaknya dan merasa senang karena anaknya bisa terhindar dari “jebakan kemiskinan” pertanian masa depan.
Berbicara masa depan, Samin melihat bahwa yang dibutuhkan adalah petani-petani “professional” yang mampu hidup sejahtera dari pertanian. Dengan alasan itulah Samin tidak berniat untuk memiliki lahan yang luas, lahan yang dimiliki Samin hanya 1000 meter persegi disekitar rumahnya.Lahan yang dikelolanya merupakan lahan yang disewa dari mereka yang menganggap Samin adalah petani professional. Dan lagi-lagi Samin mengkritisi tentang kebijakan  pertanahan yang tidak melindungi lahan-lahan pertanian, juga lahan-lahan yang juga menjadi bagian kawasan lindung dan konservasi. Kritik mengenai “tidak adanya perlindungan” juga dikemukakan Samin menyangkut ketersediaan pupuk, bibit unggul, air irigasi, kredit pertanian, serta maraknya buah-buahan asing yang masuk hingga ke pasar desa dan nasib para penyuluh. Namun pada kesempatan lain Samin juga mengucapkan syukur dengan tidak adanya “perlindungan” tersebut menurut Samin akan mendorong tumbuhnya para petani professional yang tidak lagi tergantung pada pemerintah.
 Paradoks gugatan Samin yaitu antara kritik dan syukur, antara melihat sesuatu sebagai kekurangan sekaligus sebagai kelebihan, justru harus dilihat sebagai koridor dimana teknologi dapat dikembangkan dan kebijakan dapat direkomendasikan. Paradoks itu mengingatkan tidak adanya posisi ekstrim dalam menghadapi permasalahan pertanian di Indonesia. Pertanian Indonesia tidak dapat dilihat sebagai aktifitas ekonomi, tetapi juga menyangkut sistem nilai sosial budaya. Pertanian juga tidak bisa hanya didekati sebagai proses produksi komoditi yang akan diperdagangkan di pasar, dimana sering dianggap bahwa harga dapat menyelesaikan semua permasalahan dalam pertanian Indonesia. Pertanian menyangkut ketahanan pangan, kelestarian lingkungan, pengurangan kemiskinan dan kontribusinya terhadap perekonomian secara menyeluruh. Namun yang terpenting adalah pertanian menyangkut kehidupan petani dan masyarakatnya.
     

No comments:

Post a Comment