Samin
bukan petani sembarangan, lahan yang dikelolanya mencapai 4,5 hektar, dikerjakan
bersama-sama dengan 17 rekan kerjanya. Dari luas lahan itu saja sudah bisa
membuktikan Samin bukan petani sembarangan karena petani di desanya rata-rata
hanya sepersepuluhnya saja. Jenis usaha yang dilakukan Samin menunjukkan
kemampuanya sebagai petani.Beberapa petak sawah yang ditanam tidak hanya padi
saja tetapi juga palawija, kebun dengan beberapa puluh batang pohon jengkol, pete,
melinjo, nangka, dan cengkeh, beberapa puluh batang sengon, belasan kambing, 200
ayam kampung dan 3 kolam ikan; menjadi sebuah “mix farming” yang utuh dan dapat
menjadi contoh pola usaha tani di daerah tropis basah. Apalagi menurut
pengakuan 17 orang rekan-rekan kerjanya walaupun nyatanya mereka menuruti
perintah Samin tetapi tidak merasa menjadi anak buah atau bawahan. Semua sama
saja,kelompok tani,rekan-rekan sepengajian;demikian kata mereka. Sungguh
merupakan cermin kepemimpinan yang unggul.
Samin
sering mengkritik nasibnya yang tidak bisa menyelesaikan sekolahnya yang hanya
diikutinya hingga SMP, itupun tidak lulus. Padahal untuk ukuran desanya pada
tahun 1970-an mencapai pendidikan hingga SD saja sudah dipandang tinggi. Alasan
ketidak-adaan biaya menjadi penyebab terhambatnya pendidikan Samin. Dalam
diskusi, Samin sering mempertanyakan nasib baik yang “selalu” menyertai orang kota yang kaya. Mereka
bisa kaya karena pintar, dan setelah kaya bisa membuat anak-anaknya lebih
pintar lagi, demikian logika Samin. Logika seperti itulah yang sering dipakai
Samin untuk menjelaskan mengapa petani selalu miskin dari generasi ke generasi.
Petani yang miskin tidak bisa membuat anaknya menjadi pintar sehingga terpaksa menjadi petani miskin lagi sebagai
satu-satunya alternatif yang mungkin bagi “anak petani miskin yang tidak
sekolah”.
Di
sisi lain, Samin acap kali juga mengatakan bahwa dia merasa beruntung karena
tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Tidak bersekolah menyebabkan Samin
mempunyai banyak waktu untuk mengikuti kakeknya yang menurutnya adalah guru
yang paling utama dalam memahami “Filosofi” dan tehnik bertani. Melalui
kakeknya Samin menjadi sadar akan arti pertanian bagi kehidupan, tidak hanya
bagi kehidupanya tetapi juga kehidupan umat manusia. Jika diungkapkan dalam
satu kalimat pendek, pemahaman Samin dan Kakeknya mengenai pertanian dapat
dirumuskan bahwa pertanian adalah “hatinya kehidupan”, tanpa pertanian mungkin
masih akan ada yang hidup tapi jelas tidak akan ada kehidupan.
Melalui
kerja keras di pertanian Samin dapat menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan nyaris
seperti dengan semangat “balas dendam” karena masih teringat jelas akan kesempatan
yang “hilang’ baginya dulu.Samin dengan penuh antusias menceritakan prestasi
anak-anaknya di sekolah. Namun pada saat yang sama, Samin juga memberikan
kritik dan mempertanyakan mengapa sekolah yang ada di daerah tidak mengajarkan
mengenai pertanian atau hal-hal yang terkait dengan pertanian. Bahkan
pendidikan sekolah itu tidak menumbuhkan minat anak-anak desa untuk bertani. Paradoks
Samin kembali mengemuka, Samin menyekolahkan anak-anaknya dengan semangat, tetapi
mengkritik sekolah yang akhirnya membuat anak-anak Samin tidak berminat menjadi
petani. Walaupun demikian Samin tetap merasa bahagia bisa menyakolahkan anaknya
dan merasa senang karena anaknya bisa terhindar dari “jebakan kemiskinan”
pertanian masa depan.
Berbicara
masa depan, Samin melihat bahwa yang dibutuhkan adalah petani-petani
“professional” yang mampu hidup sejahtera dari pertanian. Dengan alasan itulah
Samin tidak berniat untuk memiliki lahan yang luas, lahan yang dimiliki Samin
hanya 1000 meter persegi disekitar rumahnya.Lahan yang dikelolanya merupakan
lahan yang disewa dari mereka yang menganggap Samin adalah petani professional.
Dan lagi-lagi Samin mengkritisi tentang kebijakan pertanahan yang tidak melindungi lahan-lahan
pertanian, juga lahan-lahan yang juga menjadi bagian kawasan lindung dan
konservasi. Kritik mengenai “tidak adanya perlindungan” juga dikemukakan Samin
menyangkut ketersediaan pupuk, bibit unggul, air irigasi, kredit pertanian,
serta maraknya buah-buahan asing yang masuk hingga ke pasar desa dan nasib para
penyuluh. Namun pada kesempatan lain Samin juga mengucapkan syukur dengan tidak
adanya “perlindungan” tersebut menurut Samin akan mendorong tumbuhnya para
petani professional yang tidak lagi tergantung pada pemerintah.
Paradoks gugatan Samin yaitu antara kritik dan
syukur, antara melihat sesuatu sebagai kekurangan sekaligus sebagai kelebihan, justru
harus dilihat sebagai koridor dimana teknologi dapat dikembangkan dan kebijakan
dapat direkomendasikan. Paradoks itu mengingatkan tidak adanya posisi ekstrim
dalam menghadapi permasalahan pertanian di Indonesia . Pertanian Indonesia
tidak dapat dilihat sebagai aktifitas ekonomi, tetapi juga menyangkut sistem
nilai sosial budaya. Pertanian juga tidak bisa hanya didekati sebagai proses
produksi komoditi yang akan diperdagangkan di pasar, dimana sering dianggap
bahwa harga dapat menyelesaikan semua permasalahan dalam pertanian Indonesia .
Pertanian menyangkut ketahanan pangan, kelestarian lingkungan, pengurangan
kemiskinan dan kontribusinya terhadap perekonomian secara menyeluruh. Namun
yang terpenting adalah pertanian menyangkut kehidupan petani dan masyarakatnya.
No comments:
Post a Comment