Konsep Kemiskinan
Kemiskinan
merupakan salah satu problem sosial yang amat serius di berbagai negara di
seluruh belahan dunia. Guna membahas masalah ini perlu dilakukan identifikasi
apa yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan secara definitif dan bagaimana
cara mengukur tingkat kemiskinan masyarakat dalam suatu negara.
Berdasarkan
beberapa literatur yang pernah saya baca, paling tidak ada tiga macam konsep
kemiskinan secara umum berdasarkan pandangan secara sosial (Sunyoto Usman,
2004:125-136), yaitu:
a. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut
biasanya dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkret (afixed yard
stick). Ukuran itu lazimnya berorientasi pada “Kebutuhan hidup dasar minimum”
anggota masyarakat seperti sandang, pangan dan papan. Masing-masing negara
mempunyai batasan kemiskinan absolut yang berbeda-beda sebab kebutuhan hidup
dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena
ukurannya yang dipakai sudah pasti, konsep ini mengenal garis batas kemiskinan.
Pernah ada gagasan
yang ingin memasukkan unsur “kebutuhan dasar kultur” (basic cultural needs)
seperti pendidikan, keamanan, kesehatan dan sebagainya disamping kebutuhan
fisik. Konsep ini mendapatkan kritik antara lain dikatakan bahwa tidak mungkin
membuat satu ukuran untuk semua anggota masyarakat, seperti kebutuhan hidup
yang berbeda antara masyarakat kota dengan desa, masyarakat tani dengan nelayan
dan lain-lain. Konsep ini sangat populer dalam program-program pengentasan
kemiskinan.
b. Kemiskinan Relatif
kemiskinan relatif biasanya dirumuskan
berdasarkan “the idea of relative standard”, yaitu dengan memperhatikan dimensi
tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah kemiskinan disuatu daerah berbeda
dengan daerah lainnya, dan kemiskinan pada suatu waktu berbeda dengan waktu
yang lain. Konsep kemiskinan semacam ini lazimnya diukur berdasarkan
pertimbangan (in terms of judgement) anggota masyarakat tertentu dengan
berorientasi pada derajat kelayakan hidup.
Konsep ini juga
dikritik, terutama karena sangat sulit menentukan bagaimana hidup yang layak
itu. Ukuran kelayakan ternyata beragam dan terus berubah-ubah. Layak bagi
komunitas tertentu boleh jadi tidak layak bagi komunitas lain, demikian juga
layak pada saat sekarang boleh jadi tidak untuk mendatang.
c. Kemiskinan Subyektif
Kemiskinan subyektif biasanya dirumuskan
berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal a
fixed yardstick, dan tidak memperhitungkan the idea of relatives standard.
Kelompok yang
menurut ukuran kita berada di bawah garis kemiskinan, boleh jadi tidak
menganggap dirinya sendiri miskin atau sebaliknya. Dan kelompok yang dalam perasaan kita
tergolong hidup dalam kondisi tidak layak, boleh jadi tidak menganggap seperti
itu. Oleh karenanya, konsep ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan untuk
memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau strategi yang efektif untuk penanggulangannya.
Dimensi
Kemiskinan
Sedikitnya ada dua
macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan,
yaitu perspektif kultural (cultural perspective) dan perspektif struktural atau
situasional (situational perspective).
Masing-masing
perspektif memiliki tekanan, acuan dan metodologi tersendiri, dalam
menganalisis kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada
tiga tingkat analisis, individu, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat individu
kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut “a strong feeling of
marginality” seperti apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros,
tergantung dan inferior.
Pada tingkat
keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan
free union or consensual marriages. Pada tingkat masyarakat, kemiskinan
terutama ditunjukkan oleh tindakan terintegrasinya kaum miskin dengan
institusi-institusi masyarakat secara efektif. Mereka seringkali memperoleh
perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap dari pada sebagai subyek yang perlu
diberi peluang untuk berkembang.
Sedangkan menurut
perspektif situasional, masalah kemiskinan dilihat sebagai dampak dari sistem
ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern.
Penetrasi kapital antara lain mengejawantah dalam program-program pembangunan
yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan dan kurang memperhatikan pemerataan
hasil pembangunan. Program-program itu antara lain berbentuk intensifikasi,
ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan
sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional ekspor.
Program-program
pembangunan semacam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil produksi
secara besar-besaran, tetapi ternyata hanya kelompok kaya yang dapat memanfaatkan
surplus itu. Hal tersebut disebabkan, pertama berkaitan dengan akumulasi modal.
Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan
aset-aset tambahan yang datang bersama dengan perkembangan teknologi modern.
Konsekuensinya, mereka lebih cepat berkembang. Kedua, berkaitan dengan fungsi
lembaga. Dalam rangka menunjang introduksi teknologi baru, dibentuk
lembaga-lembaga ekonomi. Lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan, karena dengan
adanya perubahan teknologi, fungsi produksi, struktur pasar dan preferensi
konsumen ikut berubah. Dalam kenyataannya lembaga-lembaga semacam ini tidak
dapat memberikan fasilitas secara optimal kepada semua lapisan masyarakat.
hanya kelompok kaya yang dapat menikmatinya. Kedua hal tersebut dituduh
menciptakan “kolonialisme internal” dalam kehidupan masyarakat.
Program
pengentasan kemiskinan sekarang ini berdasarkan konsep kemiskinan absolut yang
dicanangkan Bappenas. Namun karena masyarakat desa sudah mengalami perubahan
ekonomi, politik dan kultural yang hebat maka kondisinya menjadi semakin
kompleks, struktur kekuasaan semakin plural dan nilai-nilai sosial juga
mengalami banyak perubahan.
Dalam hal akar
kemiskinan berkaitan dengan faktor kultural, perlu strategi yang mampu
meningkatkan etos kerja kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya lebih
memiliki pola pikir yang melihat ke masa depan, dan menata kembali institusi
ekonomi kita supaya dapat mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok miskin.
Selanjutnya bila
akar masalahnya struktural, strategi pembangunannya perlu dirumuskan kembali.
Tidak lagi mementingkan pertumbuhan kembali. Tidak lagi mementingkan
pertumbuhan, tetapi harus lebih mementingkan pemerataan kesempatan. Jadi dalam
hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya kemiskinan lebih dikarenakan tidak adanya
pemerataan yang terjadi dalam suatu daerah.
No comments:
Post a Comment