Friday, August 10, 2012

Pemberdayaan Masyarakat Miskin I




Konsep Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu problem sosial yang amat serius di berbagai negara di seluruh belahan dunia. Guna membahas masalah ini perlu dilakukan identifikasi apa yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan secara definitif dan bagaimana cara mengukur tingkat kemiskinan masyarakat dalam suatu negara.
Berdasarkan beberapa literatur yang pernah saya baca, paling tidak ada tiga macam konsep kemiskinan secara umum berdasarkan pandangan secara sosial (Sunyoto Usman, 2004:125-136), yaitu:

a.
Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut biasanya dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkret (afixed yard stick). Ukuran itu lazimnya berorientasi pada “Kebutuhan hidup dasar minimum” anggota masyarakat seperti sandang, pangan dan papan. Masing-masing negara mempunyai batasan kemiskinan absolut yang berbeda-beda sebab kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena ukurannya yang dipakai sudah pasti, konsep ini mengenal garis batas kemiskinan.
Pernah ada gagasan yang ingin memasukkan unsur “kebutuhan dasar kultur” (basic cultural needs) seperti pendidikan, keamanan, kesehatan dan sebagainya disamping kebutuhan fisik. Konsep ini mendapatkan kritik antara lain dikatakan bahwa tidak mungkin membuat satu ukuran untuk semua anggota masyarakat, seperti kebutuhan hidup yang berbeda antara masyarakat kota dengan desa, masyarakat tani dengan nelayan dan lain-lain. Konsep ini sangat populer dalam program-program pengentasan kemiskinan.

b. Kemiskinan Relatif

kemiskinan relatif biasanya dirumuskan berdasarkan “the idea of relative standard”, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah kemiskinan disuatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, dan kemiskinan pada suatu waktu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan semacam ini lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan (in terms of judgement) anggota masyarakat tertentu dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup.
Konsep ini juga dikritik, terutama karena sangat sulit menentukan bagaimana hidup yang layak itu. Ukuran kelayakan ternyata beragam dan terus berubah-ubah. Layak bagi komunitas tertentu boleh jadi tidak layak bagi komunitas lain, demikian juga layak pada saat sekarang boleh jadi tidak untuk mendatang.

c. Kemiskinan Subyektif

Kemiskinan subyektif biasanya dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal a fixed yardstick, dan tidak memperhitungkan the idea of relatives standard.

Kelompok yang menurut ukuran kita berada di bawah garis kemiskinan, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri miskin atau sebaliknya. Dan kelompok yang dalam perasaan kita tergolong hidup dalam kondisi tidak layak, boleh jadi tidak menganggap seperti itu. Oleh karenanya, konsep ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan untuk memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau strategi yang efektif untuk penanggulangannya.

Dimensi Kemiskinan
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu perspektif kultural (cultural perspective) dan perspektif struktural atau situasional (situational perspective).
Masing-masing perspektif memiliki tekanan, acuan dan metodologi tersendiri, dalam menganalisis kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis, individu, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat individu kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut “a strong feeling of marginality” seperti apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior.
Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages. Pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tindakan terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif. Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap dari pada sebagai subyek yang perlu diberi peluang untuk berkembang.
Sedangkan menurut perspektif situasional, masalah kemiskinan dilihat sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantah dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan. Program-program itu antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional ekspor.
Program-program pembangunan semacam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil produksi secara besar-besaran, tetapi ternyata hanya kelompok kaya yang dapat memanfaatkan surplus itu. Hal tersebut disebabkan, pertama berkaitan dengan akumulasi modal. Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersama dengan perkembangan teknologi modern. Konsekuensinya, mereka lebih cepat berkembang. Kedua, berkaitan dengan fungsi lembaga. Dalam rangka menunjang introduksi teknologi baru, dibentuk lembaga-lembaga ekonomi. Lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan, karena dengan adanya perubahan teknologi, fungsi produksi, struktur pasar dan preferensi konsumen ikut berubah. Dalam kenyataannya lembaga-lembaga semacam ini tidak dapat memberikan fasilitas secara optimal kepada semua lapisan masyarakat. hanya kelompok kaya yang dapat menikmatinya. Kedua hal tersebut dituduh menciptakan “kolonialisme internal” dalam kehidupan masyarakat.
Program pengentasan kemiskinan sekarang ini berdasarkan konsep kemiskinan absolut yang dicanangkan Bappenas. Namun karena masyarakat desa sudah mengalami perubahan ekonomi, politik dan kultural yang hebat maka kondisinya menjadi semakin kompleks, struktur kekuasaan semakin plural dan nilai-nilai sosial juga mengalami banyak perubahan.
Dalam hal akar kemiskinan berkaitan dengan faktor kultural, perlu strategi yang mampu meningkatkan etos kerja kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola pikir yang melihat ke masa depan, dan menata kembali institusi ekonomi kita supaya dapat mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok miskin.
Selanjutnya bila akar masalahnya struktural, strategi pembangunannya perlu dirumuskan kembali. Tidak lagi mementingkan pertumbuhan kembali. Tidak lagi mementingkan pertumbuhan, tetapi harus lebih mementingkan pemerataan kesempatan. Jadi dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya kemiskinan lebih dikarenakan tidak adanya pemerataan yang terjadi dalam suatu daerah.

No comments:

Post a Comment