Saturday, August 11, 2012

Pemberdayaan Masyarakat Miskin II




 Penanggulangan Kemiskinan

Keinginan menanggulangi kemiskinan di Indonesia bukan hal baru. Pada periode tahun 1980 an, pemerintah pernah mencanangkan dua pokok kebijakan pembangunan yaitu pertama, mengurangi jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, dan kedua, melaksanakan delapan jalur pemerataan yang meliputi pemerataan pembagian pendapatan, penyebaran pembangunan di seluruh daerah, kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, berusaha, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan kesempatan memperoleh keadilan. Program pembangunan dilaksanakan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, melainkan juga memenuhi kepuasan batiniah. Hasil pembangunan diarahkan mereata keseluruh penjuru tanah air, bukan hanya dinikmati oleh segolongan masyarakat, dan dapat dirasakan oleh segenap masyarakat.
Upaya penanggulangan kemiskinan sampai sekarang belum mencapai hasil yang diharapkan. Kemiskinan belum berkurang dan isu-isu ketimpangan semakin besar bahkan terus membengkak. Program pembangunan ekonomi ternyata tidak efektif, bantuan yang dikucurkan pemerintah tidak menyentuh kelompok miskin. Untuk memahaminya perlu ditelaah kembali dimensi struktural kemiskinan itu sendiri. Secara sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui “institutional arrangements” yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada “kelemahan diri”, sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural seperti diungkap di atas. Kemiskinan semacam itu justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dilaksanakan serta dari pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi.
Di pedesaan, telah sejak lama terjadi “green revolution”, yaitu suatu bentuk transformasi yang dahsyat dari sistem pertanian sederhana menjadi sistem pertanian modern. Transformasi itu dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan yang sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional. Hasilnya telah mengangkat negara ini dari salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara yang berswasembada pangan. Keberhasilan ini disamping secara akademis telah menggugat teori “involusi pertanian”, juga membuka mata dunia bahwa negara ini mampu meningkatkan produksi padi secara besar-besaran dalam waktu yang relatif singkat.
Namun demikian, isu kemiskinan masih belum terpecahkan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa proses introduksi itu dibingkai oleh iklim ketidakadilan. Banyak barang dan jasa didistribusikan mengikuti jalur kekuasaan, dan dengan demikian mereka yang berkuasa lebih banyak memonopoli barang dan jasa.
Proses monopoli itu dapat dijelaskan melalui siklus sebagai berikut. Pertama, berkaitan dengan akumulasi kapital. Petani kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak dalam mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersama dengan perkembangan teknologi pertanian modern, sehingga mereka dapat lebih cepat berkembang. Kedua, berkaitan dengan fungsi lembaga-lembaga yang dibentuk untuk menunjang teknologi pertanian dimana lembaga itu berfungsi untuk menunjang mengakomodasi fungsi produksi, struktur pasar dan preferensi konsumen. daLam kenyataannya petani kaya yang banyak menikmati jasa-jasa kelembagaan. Mereka adalah kelompok elit yang kerap kali diterima dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan kebijaksanaan ekonomi.
Sedangkan kondisi kemiskinan di wilayah perkotaan pada umumnya hampir sama meskipun dengan wajah yang agak berbeda. Diantara pengusaha yang memperoleh kucuran dana untuk menunjang proses industrialisasi, ternyata banyak yang melakukan manipulasi dan monopoli. Dengan dalih efektivitas dan efisiensi, mereka telah “merampas” tanah dan tenaga kerja yang murah dalam proses produksi. Ironisnya, beberapa kebijaksanaan justru memperlicin proses perampasan itu. Disamping itu, golongan menengah kota belum terbentuk atau masih semu, belum terbuka pandangan dan kepentingan politik yang integral terhadap perkembangan ekonomi secara keseluruhan, belum tumbuh kesadaran kelas. Oleh karena itu, sebutan “kelas menengah” sebenarnya merupakan sub-elite yang feodalistik dan quasi liberal. Bahkan langkah-langkah yang diambil kerap kali justru menutup akses kelompok miskin pada kegiatan perekonomian. Mereka melakukan berbagai macam monopoli dan mengatur strategi untuk memanfaatkan subsidi pemerintah yang berujung pada kesenjangan sosial masyarakat yang terus menganga lebar.

Pemberdayaan Masyarakat Miskin

Masalah lain yang terkait erat dengan kemiskinan adalah sindrom inertia (lamban dan statis) sebagai akibat dari rendahnya kualitas sumber daya manusia. Sebenarnya, pemerintah telah berusaha membenahi dan menyusun berbagai macam kebijaksanaan pendidikan yang diharapkan dapat memacu sumberdaya manusia. Kebijaksanaan itu mencakup usaha peningkatan keterampilan teknis melalui pendidikan kejuruan dan peningkatan keahlian (profesionalisme). Peningkatan itu antara lain dilakukan melalui pendekatan perluasan sarana dan mutu pendidikan dalam semua sektor, peningkatan produktivitas tenaga kerja. Tetapi sayangnya, sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi masih belum terjangkau oleh masyarakat umum. Jagat pendidikan kita masih tampak bagaikan kemasan barang luxury, terlalu mewah.
Hampir semua perguruan tinggi negeri disegala penjuru tanah air dalam beberapa tahun terakhir ini memperoleh kucuran anggaran yang cukup besar. Ratio dosen-mahasiswa terus diusahakan untuk diperkecil. Tapi, kebanyakan yang menikmatinya adalah anak dari golongan menengan ke atas, mereka mampu membayar pendidikan ekstra di luar jam pelajaran sekolah, sehingga menang dalam persaingan memasuki perguruan tinggi negeri. Mereka yang gagal berbondong-bondong masuk ke perguruan tinggi swasta dengan konsekuensi membayar biaya yang mahal sebagai beban yang harus ditanggung mahasiswa. Tampak adanya kepincangan disatu pihak mahasiswa dari keluarga kaya memperoleh subsidi pendidikan dari pemerintah, sementara di lain pihak mahasiswa dari keluarga relatif miskin harus membayar mahal yang dibebankannya berdasar anggaran perguruan tinggi swasta.
Upaya pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat miskin tampak lebih jelas dengan diluncurkannya Inpres Desa Tertinggal atau IDT melalui Inpres 5 Tahun 1999. Program ini menjadi gerakan moral yang memberi kesempatan partisipasi pada semua pihak terutama penduduk miskin. Program ini mementingkan peran mengembangkan orang miskin untuk secara aktif belajar mengurus dan memecahkan masalah mereka sendiri. Secara tidak langsung hal ini merupakan penerapan proses desentralisasi melalui pembatasan gerak pemerintah yang hanya sebagai facilitator pemberi modal atau pinjaman saja. Program IDT ini juga dibarengi dengan Inpres-Inpres lain yang bekerja secara sektoral seperti dibidang ketenagakerjaan lewat padat karya, jalan, pengairan, penghijauan dan lain-lain.
Cita-cita pemerintah dengan penerapan program IDT selain upaya mengentaskan kemiskinan juga ikut memberdayakan (empower) masyarakat miskin melalui proses atau gerak dari bawah dan merupakan pra kondisi penting bagi segala macam strategi untuk mencapai pembangunan yang sukses. Masyarakat miskin dianggap berdaya bila mampu meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan kemampuan permodalan, pengembangan usaha dan pengembangan kelembagaan usaha bersama dengan menerapkan prinsip gotong-royong, keswadayaan dan partisipasi (Prijono: 131-145).
Program IDT dalam pendekatannya, terdapat dua aspek penting yaitu partisipasi dan terdesentralisasi. Aspek partisipasi melihat masyarakat khususnya kelompok sasaran (masyarakat miskin) dalam pengambilan keputusan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, hingga pemanfaatan hasil-hasilnya. Sedang aspek terdesentralisasi mementingkan penurunan wewenang pembuatan keputusan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kepada pemerintah (desa) yang terdekat dengan penduduk miskin. Pelaksanaan kedua pendekatan ini antara lain terlihat dengan penyerahan sepenuhnya pemanfaatan dana IDT kepada penduduk miskin; yang dianggap paling mengetahui usaha yang dapat mereka lakukan dan kebutuhan mana yang paling mendeesak.
Guna mengimplementasikan program ini pada awalnya dibentuk kelompok yang disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dimana anggota masyarakat bebas beraktivitas sesuai aspirasinya dalam kebersamaan berdasarkan musyawarah.
Guna membantu proses pemberdayaan masyarakat bersama dengan kelompoknya perlu ada lembaga pendamping, yang bisa diambil dari tokoh masyarakat setempat, instansi teknis atau pendamping khusus dari Yayasan Sosial, Sarjana Pendamping Purna waktu atau dari Departemen. Fungsi pendamping adalah sebagai fasilitator (pemandu). Komunikator (penghubung), atau dinamisator (penggerak) dan bersifat sementara sampai kelompok dapat berfungsi secara mandiri. Guna kelancaran proses desentralisasi pada tingkat masyarakat desa maka pemberdayaan KSM harus pula tetap melibatkan peran Lembaga Kemasyarakatan yang lain seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD/LPMD), dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang lain.
Betapapun juga langkah dan idealisme pemberdayaan masyarakat terus dikembangkan, namun mengingat kondisi masyarakat miskin yang semakin berat maka pemerintah tidak pernah menutup mata guna menolongnya dengan berbagai bentuk pemberian langsung seperti pembagian beras untuk keluarga miskin (Raskin), bantuan langsung tunai (BLT) khususnya guna meringankan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak yang naik secara signifikan.

No comments:

Post a Comment