Keinginan
menanggulangi kemiskinan di Indonesia bukan hal baru. Pada periode tahun 1980
an, pemerintah pernah mencanangkan dua pokok kebijakan pembangunan yaitu
pertama, mengurangi jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, dan
kedua, melaksanakan delapan jalur pemerataan yang meliputi pemerataan pembagian
pendapatan, penyebaran pembangunan di seluruh daerah, kesempatan memperoleh
pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, berusaha, berpartisipasi dalam
kegiatan pembangunan dan kesempatan memperoleh keadilan. Program pembangunan
dilaksanakan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, melainkan juga memenuhi
kepuasan batiniah. Hasil pembangunan diarahkan mereata keseluruh penjuru tanah
air, bukan hanya dinikmati oleh segolongan masyarakat, dan dapat dirasakan oleh
segenap masyarakat.
Upaya
penanggulangan kemiskinan sampai sekarang belum mencapai hasil yang diharapkan.
Kemiskinan belum berkurang dan isu-isu ketimpangan semakin besar bahkan terus
membengkak. Program pembangunan ekonomi ternyata tidak efektif, bantuan yang
dikucurkan pemerintah tidak menyentuh kelompok miskin. Untuk memahaminya perlu
ditelaah kembali dimensi struktural kemiskinan itu sendiri. Secara sosiologis,
dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui “institutional
arrangements” yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita. Asumsi dasarnya adalah
bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada “kelemahan diri”, sebagaimana
dipahami dalam perspektif kultural seperti diungkap di atas. Kemiskinan semacam
itu justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan
ekonomi yang selama ini dilaksanakan serta dari pengambilan posisi pemerintah
dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi.
Di pedesaan, telah
sejak lama terjadi “green revolution”, yaitu suatu bentuk transformasi yang
dahsyat dari sistem pertanian sederhana menjadi sistem pertanian modern.
Transformasi itu dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan
komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan yang sebesar-besarnya guna
memenuhi kebutuhan nasional. Hasilnya telah mengangkat negara ini dari salah satu
negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara yang berswasembada
pangan. Keberhasilan ini disamping secara akademis telah menggugat teori
“involusi pertanian”, juga membuka mata dunia bahwa negara ini mampu
meningkatkan produksi padi secara besar-besaran dalam waktu yang relatif
singkat.
Namun demikian, isu kemiskinan masih belum terpecahkan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa proses introduksi itu dibingkai oleh iklim ketidakadilan. Banyak barang dan jasa didistribusikan mengikuti jalur kekuasaan, dan dengan demikian mereka yang berkuasa lebih banyak memonopoli barang dan jasa.
Namun demikian, isu kemiskinan masih belum terpecahkan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa proses introduksi itu dibingkai oleh iklim ketidakadilan. Banyak barang dan jasa didistribusikan mengikuti jalur kekuasaan, dan dengan demikian mereka yang berkuasa lebih banyak memonopoli barang dan jasa.
Proses monopoli
itu dapat dijelaskan melalui siklus sebagai berikut. Pertama, berkaitan dengan
akumulasi kapital. Petani kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak dalam
mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersama dengan perkembangan
teknologi pertanian modern, sehingga mereka dapat lebih cepat berkembang.
Kedua, berkaitan dengan fungsi lembaga-lembaga yang dibentuk untuk menunjang
teknologi pertanian dimana lembaga itu berfungsi untuk menunjang mengakomodasi
fungsi produksi, struktur pasar dan preferensi konsumen. daLam kenyataannya
petani kaya yang banyak menikmati jasa-jasa kelembagaan. Mereka adalah kelompok
elit yang kerap kali diterima dalam proses pengambilan keputusan berkaitan
dengan kebijaksanaan ekonomi.
Sedangkan kondisi
kemiskinan di wilayah perkotaan pada umumnya hampir sama meskipun dengan wajah
yang agak berbeda. Diantara pengusaha yang memperoleh kucuran dana untuk
menunjang proses industrialisasi, ternyata banyak yang melakukan manipulasi dan
monopoli. Dengan dalih efektivitas dan efisiensi, mereka telah “merampas” tanah
dan tenaga kerja yang murah dalam proses produksi. Ironisnya, beberapa
kebijaksanaan justru memperlicin proses perampasan itu. Disamping itu, golongan
menengah kota belum terbentuk atau masih semu, belum terbuka pandangan dan
kepentingan politik yang integral terhadap perkembangan ekonomi secara
keseluruhan, belum tumbuh kesadaran kelas. Oleh karena itu, sebutan “kelas
menengah” sebenarnya merupakan sub-elite yang feodalistik dan quasi liberal.
Bahkan langkah-langkah yang diambil kerap kali justru menutup akses kelompok
miskin pada kegiatan perekonomian. Mereka melakukan berbagai macam monopoli dan
mengatur strategi untuk memanfaatkan subsidi pemerintah yang berujung pada
kesenjangan sosial masyarakat yang terus menganga lebar.
Pemberdayaan
Masyarakat Miskin
Masalah lain yang
terkait erat dengan kemiskinan adalah sindrom inertia (lamban dan statis)
sebagai akibat dari rendahnya kualitas sumber daya manusia. Sebenarnya,
pemerintah telah berusaha membenahi dan menyusun berbagai macam kebijaksanaan
pendidikan yang diharapkan dapat memacu sumberdaya manusia. Kebijaksanaan itu
mencakup usaha peningkatan keterampilan teknis melalui pendidikan kejuruan dan
peningkatan keahlian (profesionalisme). Peningkatan itu antara lain dilakukan
melalui pendekatan perluasan sarana dan mutu pendidikan dalam semua sektor,
peningkatan produktivitas tenaga kerja. Tetapi sayangnya, sekolah-sekolah dan
perguruan-perguruan tinggi masih belum terjangkau oleh masyarakat umum. Jagat pendidikan kita
masih tampak bagaikan kemasan barang luxury, terlalu mewah.
Hampir semua
perguruan tinggi negeri disegala penjuru tanah air dalam beberapa tahun
terakhir ini memperoleh kucuran anggaran yang cukup besar. Ratio
dosen-mahasiswa terus diusahakan untuk diperkecil. Tapi, kebanyakan yang
menikmatinya adalah anak dari golongan menengan ke atas, mereka mampu membayar
pendidikan ekstra di luar jam pelajaran sekolah, sehingga menang dalam
persaingan memasuki perguruan tinggi negeri. Mereka yang gagal
berbondong-bondong masuk ke perguruan tinggi swasta dengan konsekuensi membayar
biaya yang mahal sebagai beban yang harus ditanggung mahasiswa. Tampak adanya
kepincangan disatu pihak mahasiswa dari keluarga kaya memperoleh subsidi
pendidikan dari pemerintah, sementara di lain pihak mahasiswa dari keluarga
relatif miskin harus membayar mahal yang dibebankannya berdasar anggaran
perguruan tinggi swasta.
Upaya pemerintah
dalam pemberdayaan masyarakat miskin tampak lebih jelas dengan diluncurkannya
Inpres Desa Tertinggal atau IDT melalui Inpres 5 Tahun 1999. Program ini
menjadi gerakan moral yang memberi kesempatan partisipasi pada semua pihak
terutama penduduk miskin. Program ini mementingkan peran mengembangkan orang
miskin untuk secara aktif belajar mengurus dan memecahkan masalah mereka
sendiri. Secara tidak langsung hal ini merupakan penerapan proses
desentralisasi melalui pembatasan gerak pemerintah yang hanya sebagai
facilitator pemberi modal atau pinjaman saja. Program IDT ini juga dibarengi
dengan Inpres-Inpres lain yang bekerja secara sektoral seperti dibidang
ketenagakerjaan lewat padat karya, jalan, pengairan, penghijauan dan lain-lain.
Cita-cita
pemerintah dengan penerapan program IDT selain upaya mengentaskan kemiskinan
juga ikut memberdayakan (empower) masyarakat miskin melalui proses atau gerak
dari bawah dan merupakan pra kondisi penting bagi segala macam strategi untuk
mencapai pembangunan yang sukses. Masyarakat miskin dianggap berdaya bila mampu
meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya melalui peningkatan kualitas
sumber daya manusia, peningkatan kemampuan permodalan, pengembangan usaha dan
pengembangan kelembagaan usaha bersama dengan menerapkan prinsip gotong-royong,
keswadayaan dan partisipasi (Prijono: 131-145).
Program IDT dalam
pendekatannya, terdapat dua aspek penting yaitu partisipasi dan
terdesentralisasi. Aspek partisipasi melihat masyarakat khususnya kelompok
sasaran (masyarakat miskin) dalam pengambilan keputusan sejak dari perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, hingga pemanfaatan hasil-hasilnya. Sedang aspek
terdesentralisasi mementingkan penurunan wewenang pembuatan keputusan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kepada pemerintah (desa) yang terdekat
dengan penduduk miskin. Pelaksanaan kedua pendekatan ini antara lain terlihat
dengan penyerahan sepenuhnya pemanfaatan dana IDT kepada penduduk miskin; yang
dianggap paling mengetahui usaha yang dapat mereka lakukan dan kebutuhan mana
yang paling mendeesak.
Guna
mengimplementasikan program ini pada awalnya dibentuk kelompok yang disebut
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dimana anggota masyarakat bebas beraktivitas
sesuai aspirasinya dalam kebersamaan berdasarkan musyawarah.
Guna membantu
proses pemberdayaan masyarakat bersama dengan kelompoknya perlu ada lembaga
pendamping, yang bisa diambil dari tokoh masyarakat setempat, instansi teknis
atau pendamping khusus dari Yayasan Sosial, Sarjana Pendamping Purna waktu atau
dari Departemen. Fungsi pendamping adalah sebagai fasilitator (pemandu).
Komunikator (penghubung), atau dinamisator (penggerak) dan bersifat sementara
sampai kelompok dapat berfungsi secara mandiri. Guna kelancaran proses
desentralisasi pada tingkat masyarakat desa maka pemberdayaan KSM harus pula tetap
melibatkan peran Lembaga Kemasyarakatan yang lain seperti Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD/LPMD), dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang lain.
Betapapun juga
langkah dan idealisme pemberdayaan masyarakat terus dikembangkan, namun
mengingat kondisi masyarakat miskin yang semakin berat maka pemerintah tidak
pernah menutup mata guna menolongnya dengan berbagai bentuk pemberian langsung
seperti pembagian beras untuk keluarga miskin (Raskin), bantuan langsung tunai
(BLT) khususnya guna meringankan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak yang
naik secara signifikan.
No comments:
Post a Comment