Merujuk pada
pengertian hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo, maka hukum adat
pembentukan dapat melalui Badan Legislatif, Melalui Pengadilan. Hukum merupakan
kesatuan norma yang bersumber pada nilai-nilai (values). Namun demikian
hukum dan hukum adat pada khususnya menurut karakternya, ada
Hukum adat memiliki karakter
bersifat netral, dan
Hukum adat memiliki karakter
bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius.
Pembedaan ini
penting untuk dapat memahami pembentukan atau perubahan hukum yang akan berlaku
dalam masyarakat. Hukum netral hukum lalu lintas adalah hukum yang relative
longgar kaitannya dengan nilai - nilai religius susunan masyarakat adat hal ini
berakibat, perubahan hukum yang termasuk hukum netral mudah pembentukannya dan
pembinaan hukum dilakukan melalui bentuk perumusan hukum perundang-undangan
(legislasi). Sedangkan hukum adat yang erat kaitannya dengan nilai-nilai
relegius – karena itu relative tidak mudah disatukan secara nasional, maka
pembinaan dan perumusannya dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi.
Hukum adat oleh ahli barat,
dipahami berdasarkan dua asumsi yang salah, pertama, hukum adat dapat
dipahami melalui bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan asli
atau didasarkan pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat disistimatisasi
secara paralel dengan hukum-hukum barat. Akibat pemahaman dengan paradigma
barat tersebut, maka hukum adat dipahami secara salah dengan segala
akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata dalam perkembangan
selanjutnya di masa kemerdekaan.
Pada masa Dandeles, hukum pidana adat diubah dengan pola
Eropa, bila :
Perbuatan
pidana yang dilakukan berakibat mengganggu kepentingan umum;
Perbuatan
pidana bila dituntut berdasarkan atas hukum pidana adat dapat mengakibatkan si
pelaku bebas;
Perkembangan hukum adat pada masa daendels bernasib sama
dengan masa-masa sebelumnya yakni disubordinasikan hukum Eropa. Terkecuali
untuk hukum sipil. Termasuk hukum perdata dan hukum dagang, Daendel tetap
membiarkan sebagaimana adanya menurut hukum adat masing-masing.
Pada perkembangan lanjutan, politik hukum adat tampak pada
pemerintahan penjajahan Belanda, ketika dimulainya politik unifikasi hukum dan
kodifikasi hukum melalui Panitia Scholten, di antaranya: Alegemeene
Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB), Ketentuan Umum tentang
peraturan Perundang-undangan di Hindia Balanda; Burgerlijke Wetboek, Wetboek
van Koopenhandel; reglemen op Rechtelejke Organisatie en het beleid de justitie
(RO). Maka dalam perkembangannya terbentuklah unifikasi dalam pengaturan
hukum pidana bagi golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi, dengan dibentuknya Wetboek
van Strafrecht (WvS), sebagi tiruan Belanda (1881) yang meniru Belgia,
diberlakukan bagi golongan Eropa dengan Stb 1866:55 dan berlaku bagi Golongan
Pribumi dan Timur Asing dengan Stb 1872:85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari
1873. Proses kodifikasi dan unifikasi, maka hukum adat kecuali berkenaan dengan
ketertiban umum dengan kodifikasi hukum pidana, tidak disangkutkan
pengaturannya, sehingga yang dijadikan rujukan hukum adat adalah pasal 11 AB.
Pasal 11 AB, berlakukan azas konkordansi, yang
memberlakukan hukum Belanda bagi golongan Eropa di Hindia Belanda, berkenaan
dengan dengan hukum adat menunjukkan bahwa hukum adat berlaku bagi golongan
penduduk bukan Eropa, kecuali:
Sukarela
menaati peraturan peraturan perdata dan hukum dagang yang berlaku bagi golongan
Eropa;
Kebutuhan
hukum memerlukan ketundukan pada hukum perdata dan hukum dagang golongen Eropa;
Kebutuhan
mereka memerlukan ketundukan pada hukum lain;
Pada masa ini, hukum dianggap ada bila diatur dalam
undang-undang, sebagai hukum tertulis (statuary law) yang menunjukkan
dianutnya paham Austinian, sebagaimana diatur pasal 15 AB (Alegeme
Bepalingen van Vetgeving), yang menyatakan: terkecuali peraturan-peraturan
yang ada, bagi orang Indonesia
asli dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya, kebiasaan hanya dapat disebut
hukum apabila undang-undang menyebutnya.
Dengan demikian menjadi jelas yang membuat ukuran dan
kriteria berlaku dan karenanya juga berkembangnya hukum adat, adalah bukan
masyarakat –dimana tempat memproduksi dan memberlakukan hukum adanya sendiri –
melainkan adalah hukum lain yang dibuat oleh penguasa (kolonial), sebagaimana
ternyata dalam pasal 11 AB dan pasal 15 AB tersebut.
Pada awalnya hukum asli
masyarakat yang dikenal dengan hukum adat dibiarkan sebagaimana adanya, namun
kehadiran era VOC dapat dicatat perkembangan sebagai berikut:
Sikapnya tidak
selalu tetap (tergantungan kepentingan VOC), karena tidak berkepentingan dengan
pengadilan asli, VOC tidak mau dibebani oleh persoalan administrasi yang tidak
perlu berkenaan dengan pengadilan asli; Terhadap lembaga-lembaga asli, VOC
tergantung pada kebutuhan (opportuniteits politiek);
VOC hanya mencampuri urusan
perkara pidana guna menegakkan ketertiban umum dalam masyarakat; Terhadap Hukum
perdata diserahkan , dan membiarkan hukum adat tetap berlaku.
Tanggal 20 Maret
1602 didirikan VOC yang merupakan gabungan dari maskapai dagang Belanda. Tahun
1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta (Batavia ).
Wilayah VOC meliputi daerah di
antara laut Jawa dan Samudera Indonesia ,
dengan batas-batas :
-
Sebelah barat : sungai Cisadane
-
Sebelah timur : sungai Citarum
Kedudukan VOC pada waktu itu
1.
Sebagai pengusaha perniagaan
2.
Sebagai penguasa pemerintahan
Guna menjaga
kepentingan VOC di Hindia Belanda, tahun 1609 Staten General (Perwakilan
Rakyat), Belanda memberikan kuasa kepada pengurus VOC di Banten (Gubernur
Jenderal dan Dewan Hindia/Raad Van Indie) untuk membentuk hukum sendiri. Adapun
hukum yang diteapkan pada waktu itu adalah hukum VOC, yang terdiri dari
unsur-unsur :
-
Hukum Romawi
-
Asas-asas hukum Belanda Kuno
-
Statuta Betawi
Statuta Betawi dibuat oleh
Gubernur Jenderal Van Diemen yang berisikan kumpulan plakat-palakat dan
pengumuman yang dikodifikasikan.
Menurut Van
Vollenhoven : Kebijakan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut
disebutnya “Cara mempersatukan hukum yang sederhana” Dalam praktek/kenyataannya,
peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut tidak dapat
dijalankan, sebab :
-
Ada hukum yang berlaku
di dalam pusat pemerintahan VOC, yaitu dalam kota Betawi/Batavia.
-
Ada hukum yang berlaku
di luar pusat pemerintahan VOC, yaitu di luar kota Betawi/Jakarta.
Menurut Utrecht
: Hukum yang berlaku untuk penduduk asli adalah hukum adat. kecuali untuk daerah
Betawi/Jakarta, Sebab :
-
kesulitan sarana transportasi waktu itu.
-
kurangnya alat pemerintah.
Sebagai jalan keluarnya, maka
dikeluarkan resolutie 21-12-1708.
Sebagian Priangan (barat, tengah
dan timur) diadili oleh Bupati dengan ombol-ombolnya dalam perkara perdata dan
pidana menurut hukum adat.
Perhatian
terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa
tulisan-tulisan baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan, diantaranya :
-
Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer
Memuat tentang
peraturan hukum Islam mengenai waris, nikah dan talak.
-
Pepakem Cirebon
Dibuat oleh Mr.
P.C. Hasselar (residen Cirebon ).
Membuat suatu kitab hukum yang bernama “pepakem Cirebon ” yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya
merupakan kumpulan dari hukum adat Jawa yang bersumber dari kitab kuno antara
lain : UU Mataram, Kutaramanawa, Jaya Lengkaran, dan lain-lain.
Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim yang dikehendaki oleh hukum adat :
Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim yang dikehendaki oleh hukum adat :
a. Candra :
bulan yang menyinari segala tempat yang gelap
b. Tirta : air
yang membersihkan segala tempat yang kotor
c. Cakra : dewa
yang mengawasi berlakunya keadaan
d. Sari : bunga
yang harum baunya
Penilaian VOC terhadap hukum adat :
1.
Hukum adat identik dengan hukum agamaHukum adat
terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum.
2.
Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung
kebutuhan).
3.
Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa.
4. Hukum
Adat Dalam Masa Pemerintahan Inggris
Mada masa penjajahan Inggris (Raffles), hal yang menonjol
adalah adanya keleluasaan dalam hukum dan peradilan dalam menerapkan hukum
adat, asal ketentuan hukum adat tidak bertentangan dengan: the universal and
acknowledged principles of natural justice atau acknowledge priciples of
substantial justice.
Masa itu berlaku hukum militer, sedangkan hukum
perundangan dan hukum adat tidak mendapat perhatian saat itu. Peraturan pada
masa pemeintahan Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum
militer.
Ketentuan ini diatur pada UU No. 1 Balatentara Jepang 1942 pasal 3 isinya :
Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan, hukum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. (dasar hukum adat masa Jepang).
Ketentuan ini diatur pada UU No. 1 Balatentara Jepang 1942 pasal 3 isinya :
Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan, hukum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. (dasar hukum adat masa Jepang).
No comments:
Post a Comment