Realita PENDIDIKAN saat ini bukanlah sebuah faktor tunggal yang bebas
nilai, Melainkan rangkaian dari lembaga-lembaga sosial lain yang disetir oleh
kepentingan tertentu.
Dalam pendapat Freirian,
pendidikan adalah alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Akibatnya,
rekayasa sejarah, pemutar balikan fakta, pembodohan-pembodohan, dan pemandulan
sikap kritis, menjadi hal biasa yang dilakukan oleh penguasa dalam konteks
politik pendidikan.
Pendidikan sebagai sebuah institusi sosial, dipakai sebagai alat penetrasi
pemikiran, nilai-nilai dan cara berpikir pihak penguasa terhadap rakyatnya. Hal
ini dilakukan agar terdapat pengakuan dari rakyat terhadap kekuasaan yang
dijalankan tanpa ada protes, sebab pola pikir masyarakat sudah dibentuk sesuai
dengan “menu yang menjadi selera" penguasa.
Antonio Gramsci berpendapat bahwa
hegemoni merupakan sebuah upaya pihak elite penguasa yang mendominasi untuk
menggiring cara berpikir, bersikap, dan menilai masyarakat agar sesuai kehendaknya.
Hegemoni berlangsung secara halus,
tanpa terasa, tetapi masyarakat dengan sukarela mengikuti/menjalaninya. Dalam
dunia pendidikan, hegemoni dilancarkan secara sistematis dan cerdas.
Dilihat dari jenjang pendidikan yang rata-rata ditempuh oleh masyarakat
Indonesia, katakanlah 12 tahun (SD-SLTA) atau 17 tahun (jika dihitung masa
tempuh rata-rata lulusan S-1), menunjukkan interval waktu jenjang pendidikan
yang cukup lama. Dengan waktu yang cukup lama ini, sektor pendidikan menjadi
strategis dan sasaran empuk untuk
dijadikan ladang indoktrinasi, hegemoni, juga penciptaan kesadaran-kesadaran
palsu. Ladang pendidikan ini bertambah subur lagi dengan rezim positivistik dan jargon-jargon yang
telah menelusup ke dalam sanubari masyarakat dunia termasuk Indonesia bahwa
ilmu itu netral, dunia pendidikan itu netral, tidak terkait dengan kepentingan
politik, ekonomi, bebas kepentingan dan bebas nilai.
Kesadaran ini membawa pengaruh terhadap semakin mudahnya
kebijakan-kebijakan penguasa dalam pendidikan disepakati dan mudahnya melakukan
intervensi dunia pendidikan karena dianggap tetap steril, aman, nyaman dan
menjanjikan.
Mungkin kita masih ingat ketika rezim orde baru masih berkuasa, ada
pelembagaan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). P-4 diberikan
kepada semua peserta didik pada setiap jenjang pendidikan, dan juga kepada
instansi-instansi lain. Lembaga seperti P-4 inilah yang kemudian melakukan
"penertiban" terhadap cara berpikir masyarakat agar
"Pancasilais".
Sebuah hal yang wajar, jika masyarakat kita, dulu, memandang aneh dan sinis
terhadap orang-orang (aktivis) yang berusaha kritis terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah. Akibat hegemoni pemerintah, mereka dituding
sebagai "pemberontak".
Juga merupakan hal yang wajar, jika banyak masyarakat pendidikan kita yang
rajin membuat contekan atau bertanya ke kiri-kanan ketika ujian karena kita
memandang nilai di secarik kertas hampir segala-segalanya.
Begitulah hegemoni.
Maka, bagi kaum yang menginginkan sebentuk perubahan progresif, harus melakukan
counter hegemoni.
Sejatinya, manusia seutuhnya adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya,
manusia yang hanya bisa beradaptasi adalah manusia sebagai objek. Adaptasi
merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri
karena ia tidak mampu merubah realitas. (P.
Freire)
Bagi Freire, fitrah sejati manusia adalah
menjadi pelaku atau subjek, bukan penderita atau objek. Panggilan manusia
sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta
realitas yang menindas atau mungkin menindasnya.
Ancaman hegemoni dalam dunia pendidikan juga datang dari hegemoni
neoliberalisme. Neoliberalisme menampilkan wajah hegemoniknya lewat pembangunan
image yang dikemas dalam bentuk iklan-iklan, icon (lambang) dan merk
serta jargon-jargon.
Kesadaran-kesadaran yang
dibiuskan oleh hegemoni neoliberalisme kepada masyarakat, sering tidak
disadari. Masyarakat mengikuti saja bahwa yang dikatakan cantik itu adalah
sosok perempuan yang berkulit putih, langsing, berambut panjang.
Dalam dunia pendidikan neoliberalisme melancarkan hegemoni dengan melakukan
kapitalisasi pendidikan, yaitu pendidikan dijadikan sebagai barang dagangan,
tanpa melihat lagi misi mulia pendidikan yang manusiawi. Hasil dari sekian
lamanya neoliberalisme menghegemoni dunia pendidikan, dengan gampang ditemukan
lewat kesadaran palsu, yaitu pandangan bahwa kesuksesan dan derajat kemuliaan
seseoarang diukur dari kuliah, lulus secepatnya dengan nilai tinggi, kerja pada
tempat yang paling banyak menghasilkan duit.
hasilnya, masyarakat pun
cenderung menilai orang dari mobil yang dipakai, seberapa besar rumahnya, dll.
Jiwa dan sikap intelektualitas, suka mengkaji suatu fenomena, memiliki rasa
keingintahuan dan naluri penyelidikan yang tinggi, memegang prinsip kebenaran
ilmiah dan rasa keadilan, justru merupakan "musuh" bagi
neoliberalisme, termasuk Tri Dharma
Perguruan Tinggi.
Mungkin masih terlintas dan sedikit membekas dalam diri kita tentang filosofi
pendidikan pembebasan yang sampai saat ini masih merupakan filosofi yang dapat
dipakai untuk melakukan counter hegemoni penguasa maupun kaum
neoliberalisme. Pendidikan pembebasan yang memandang manusia sebagai manusia,
bukan sebagai alat. Pendidikan pembebasan tidak mengasingkan anak didiknya dari
realitas lingkungannya.
Lemahnya bangsa Indonesia dalam merumuskan filosofi dan konsep pendidikan
serta praktik pendidikan yang amburadul, membuka celah yang sangat lebar kepada
hegemoni neoliberalisme. Padahal tidak sedikit orang pintar yang ada di
Indonesia, tetapi mereka menggunakan kepintarannya untuk sebuah nilai dan
materi dimana m,emandang manusia lain sebagai obyek. Ada apa dengan pendidikan
di Indonesia? Ada apa dengan pendidikan di Jawa Timur? Ada apa dengan
pendidikan di Jember?
No comments:
Post a Comment